Menulis bukan sekedar merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf. Lebih dari itu, menulis merupakan sebuah seni sekaligus sarana menuangkan gagasan. Maka dari tulisan kita jadi mengetahui pemikiran seseorang, tinggi rendahnya intelektual, dangkal atau dalamnya wawasan, serta tinggi rendahnya jiwa seni sang penulis. Lantaran betapa pentingnya kegiatan satu ini, para sejarawan sepakat bahwa yang membedakan era pra sejarah dengan era sejarah adalah tulisan. Sebuah suku jauh di pedalaman yang hingga hari ini belum mengenal tulisan tetap tak beranjak dari keseharian berburu dan meramu. Di belahan dunia lain, manusia telah merambah era IT berkat berkembangnya tulisan.
Namun apa jadinya bila mahasiswa yang konon merupakan golongan terdidik, generasi penerus bangsa malas menulis? Akibatnya, muncullah generasi berjas almameter tetapi pemikirannya tak lebih baik (maaf) dari tukang ojek. Terjadinya saling ejek antar fakultas yang berujung pada tawuran menunjukkan bahwa intelektual mereka jarang diasah. Malas menulis bukanlah sekedar malas menggerakkan jarinya di atas keyboard. Lebih dari itu, hal tersebut merupakan mandeknya intelektual dan mendorong lahirnya budaya serba instan. Menarik perhatian, ketika seorang dosen PTN di Jawa Timur curhat pada sebuah koran harian di Jogja. Beliau mengeluhkan tentang seorang mahasiswa yang tingkat kemalasannya sudah kelewat batas. Bayangkan! Ketika sang dosen memerintahkan para mahasiswanya menyusun makalah sebagai bahan presentasi, mahasiswa tersebut tanpa menoleh kanan kiri langsung copy paste sehingga tanpa sadar, tulisan yang baru saja ia copy paste adalah goresan pena dosennya. Selanjutnya dapat ditebak bahwa muka si mahasiswa merah padam di depan kelas menerima imbalan dari pekerjaannya.
Tak cukup di situ, generasi copy paste ini terus bermetamorfosa menjadi generasi serba instan dan malas bekerja keras. Dalam prakteknya, mereka akan berfikiran, “Buat apa susah - susah belajar, bila untuk jadi PNS dapat diraih dengan cara menyuap oknum”. Dalam level lebih tinggi, karakter serba instan ini cukup efektif mempengaruhi pola pikir para birokrat. “Buat apa susah - susah untuk menyejahterakan rakyat, bila suara mereka dapat dibeli. Lebih baik anggaran buat rakyat saya korupsi. Teman - teman anggota dewan, toh sama saja dengan saya. Siapa yang tak mau kaya mendadak. Mumpung masih jadi pejabat, ya dipuas - puasin korupsinya”. Mental macam itu tak mungkin timbul dengan tiba - tiba. Karakter demikian sudah terbentuk semenjak mereka berstatus mahasiswa atau mungkin di bawahnya lagi. Praktek korupsi dalam tataran pelajar dan mahasiswa dapat berupa plagiatisme serta contek menyontek. Semua itu lagi - lagi berpangkal dari sifat malas. Jadi bila anda mahasiswa yang malas menulis jangan anggap remeh! Kelak penyakit malas itu akan tumbuh menjalari aspek - aspek lain dan akhirnya mengendap menjadi sebuah watak korup yang berurat akar.
Terkait gejala malas menulis ini, tak afdhol bila kita tak menyajikan contoh nyata. Adanya facebook ternyata bukannya menjadikan generasi muda aktif menuangkan gagasan dalam tulisan. Yang terjadi justru sebaliknya. Facebook acapkali hanya berperan sebagai ajang gosip, ngobrol, ngelantur sana sini dalam bentuk tulisan.
Coba perhatikan status para facebooker yang tak jauh - jauh dari kata berikut :
selamat bermalming, semoga menyenangkan eaaa…
cewek iki ayu tenan rekkk
ngopi yukkk
aku mo shopping dulu. siapa mo ikut???
Tentunya kita bisa menambahkan beragam contoh lain yang isinya menunjukkan bahwa situs jejaring sosial acapkali digunakan sebagai sarana mengobrol sana - sini tak jelas ujung dan faedahnya. Bila kita memperhatikan sekelompok mahasiswa yang tengah online di laboratorium komputer, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari mereka sedang asyik ber fb atau ber twit ria. Dengan kondisi demikian, tak heran bila orang yang pandai bicara selalu menempati posisi “terhormat” di layar kaca. Perhatikanlah! Pelawak yang hobi mencela kekurangan diri atau orang lain, hobi menyinggung hal - hal berbau porno justru mendapat honor selangit. Sebaliknya, mereka yang ahli dalam menggubah kata, menggores pena hanya sedikit yang mendapat tempat di masyarakat. Saya yakin seyakin - yakinnya, tak sedikit kalangan mahasiswa yang tak mengenal Buya Hamka atau Pramoedya Anantatoer.
Sebagai perbandingan obrolan murahan via fb, dapatlah kita lihat barisan kata berikut :
“Gedung - gedung tinggi menjulang angkasa tampak gagah di kanan kirinya. Kemilau diterpa siluet senja. Ia hanya menengadah ke atas. Bingung dengan sinergi kehidupan baru yang serba mewah. Harus kemanakah dia saat ini? …”.
Beberapa kalimat di atas merupakan penggalan dari novel “Xie Xie Ni De Ai” yang ditulis seorang dengan nama pena Mell Shaliha. Penulis adalah seorang mantan TKW. Ia bukanlah seorang mahasiswa. Sekali lagi bukan mahasiswa. Akan tetapi, gaya bahasa dan nilai estetika yang tersirat dalam baris demi baris kalimatnya melukiskan betapa tinggi jiwa seni dan betapa luas wawasan yang terpendam dalam dirinya. Bandingkan dengan bermacam status fb para mahasiswa yang isinya pun tiada nilai bobotnya.
Di akhir tulisan saya hendak menyeru kepada kaum mahasiswa, “Tak perlulah kalian berteriak lantang di jalanan, berantas korupsi!Adili koruptor!”. Selama kalian gemar menyontek, hobi plagiat, dan tak jauh dari copy paste dalam setiap tugas kuliahmu, maka sungguh engkau telah mempersiapkan diri sebagai koruptor masa depan!!!!!!!!!!!!!!!
Sumber :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/09/bila-mahasiswa-enggan-menulis-mau-jadi-apa/
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !